A. Pengertian Pilkada
Pemilihan Umum Kapala Daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepada daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat.yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah :
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama “Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Munculnya pilkada langsung ini adalah suatu yang baik dalam proses perkembangan demokrasi dan demokratisasi di tanah air. Melalui pelaksanaan otonomi daerah yang dijadikan sebagai media untuk mendesentralisasikan sistem demokrasi yang semakin disempurnakan, termasuk melalui pilkada ini, diharapkan akan menggairahkan dan merangsang tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru yang pro demokrasi di daerah. Artinya, melalui pemilihan kepala daerah yang secara langsung ini, akan lahir aktor-aktor demokrasi di daerah, yang kemudian diharapkan akan sanggup membuat kontrak politik dengan segenap komponen masyarakat, serta mampu melakukan gerakan-gerakan baru bagi perubahan.
Jika selama ini, kepala daerah dipilih oleh sekelompok “elit” di DPRD, yang ternyata tidak jarang tercium aroma tak sedap, berupa politik kongkalikong di antara elit-elit politik daerah, hanya menimbulkan malapetaka politik bagi rakyat. Maka kita tak heran, ketika pemilihan kepala daerah, tak jarang muncul calon yang justru sangat “dibenci” rakyat. Akan tetapi dengan bermodalkan kekuatan yang ada padanya (misalnya uang), kemudian digunakan untuk mengelabui lembaga DPRD, untuk akhirnya memilihnya. Pada saat yang sama ada banyak anggota DPRD yang justru menunggu dan menginginkan hal tersebut.
Melalui pilkada, pemerintahan di tingkat lokal akan semakin dekat dengan rakyat, kemudian sekaligus akan menciptakan akuntabilitas yang tinggi dari rakyat untuk pemerintahan lokal. Maka dengan demikian akan tercipta juga responsiveness yang baik juga. Misalnya melalui semakin kritisnya rakyat dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal.
Pemilihan secara langsung bagi para kepala daerah (local government heads) dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (local representative council), merupakan salah satu syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsif, serta terbangunnya apa yang mereka sebut dengan political equality (persamaan hak politik) di tingkat lokal.
B. Faktor Pendorong Munculnya Suap Pilkada Langsung
Ruang sempit yang disediakan untuk calon independen hanya sekadar basa-basi guna menimbulkan kesan demokratis. Dikatakan demikian, kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada calon perorangan tidak diikuti dengan sanksi yang tegas jika partai politik tidak melaksanakannya. Apalagi ada aturan bahwa proses seleksi calon perorangan harus sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Pertanyaannya, sudah seberapa banyakkah partai politik membuat aturan internal yang memungkinkan calon perorangan bersaing secara fair? Persoalan ini merupakan pintu awal masukkan suap pada proses pilkada langsung.
Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 dan PP No 6/2005 tidak terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2), Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Dengan definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan. Dalam kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri pada partai politik hingga ke masa kampanye.
Pencalonan kepala daerah yang harus melalui pintu partai politik yang memenuhi persyaratan tertentu diprediksi bakal menjadi pintu masuk terjadinya konflik. Karena calon nonpartai yang dikenal mempunyai pendukung kuat pun harus melalui pintu parpol, bisa timbul masalah jika keinginan tersebut ternyata tidak diakomodasi oleh parpol yang ada. Elite parpol yang berpikir pragmatis tentunya tidak akan dengan gampang memberi jalan kepada calon yang bukan kader partainya. Selain itu, polarisasi politik juga menjadi faktor pemicu konflik. Jika keragaman parpol, kelompok etnis, atau agama tidak menjadi pertimbangan parpol atau gabungan parpol dalam mengajukan pasangan calonnya, bisa muncul kekerasan dari kelompok yang merasa terancam eksistensinya akibat datangnya rezim monolitik itu.
C. Upaya yang Dilakukan Oleh Aparat Penegak Hukum Untuk Mengatasi Problematika Pilkada Langsung
Opini publik yang berkembang pada saat aturan hukum pilkada dirumuskan bahwa pilkada langsung dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan praktek suap ternyata tidak dapat dipertahankan lagi. Sebagai ilustrasi berikut ini disajikan resume hasil penelitian permasalah pilkada;
Menurut Topo Santoso, salah satu kekurangan dari peraturan perundang yang mengatur pilkada adalah minimnya alasan menggugat hasil pilkada. UU No 32 Tahun 2004 hanya mengenal satu alasan. Hasil pemilihan bisa digugat bila KPUD salah menghitung. Padahal, bisa saja terjadi kesalahan besar dalam pendaftaran pemilih sehingga pendukung salah satu kandidat kehilangan hak pilih, seperti terjadi di Cilegon. Salah seorang calon menduga, lebih dari 56.000 pendukungnya kehilangan hak pilih. Kecurangan lain yang berpotensi memengaruhi hasil adalah suap. Ini pun tidak bisa dijadikan alasan menggugat hasil pilkada. Juga kecurangan di tahapan pendaftaran pemilih, tahapan kampanye, kekerasan atau ancaman kekerasan, pelibatan PNS atau penyalahgunaan kekuasaan, menghalangi pemilih, dan aneka kecurangan lain. Solusi hukumnya jelas. Berikan hak kepada pihak yang merasa dirugikan untuk menyanggah penetapan KPUD dengan mekanisme hukum yang jelas. Sementara itu, dasar untuk menggugat hasil pilkada harus diperluas, bukan hanya terjadinya kesalahan penghitungan oleh KPUD, tetapi juga mencakup terjadinya kesalahan, kecurangan, manipulasi, atau tindak pidana pemilihan yang bisa memengaruhi hasil. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan memperbaiki atau melengkapi UU Pemerintah Daerah.
Definisi suap dalam pemilihan kepala daerah langsung perlu diperjelas untuk menghindari kambuhnya "penyakit pemilu" itu dalam pilkada Juni 2005. Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2), Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Menurut penulis, definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan. Dalam kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri pada partai politik hingga ke masa kampanye.
D. Upaya Mencegah Suap
Mengutip pendapat Ramlan Surbakti, setidak-tidaknya tiga cara dapat ditempuh untuk mencegah praktik suap, yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, dan melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri. Cara pertama diadopsi oleh peraturan perundang-undangan, tetapi pengaturannya masih harus dilengkapi oleh KPU provinsi/KPU kabupaten/kota. Berdasarkan pengalaman menangani pelaporan dan audit dana kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2004, tujuh hal berikut perlu diadopsi oleh KPUD.
1. Belum semua penerimaan dan pengeluaran tercatat dalam rekening khusus di bank yang sudah dilaporkan kepada KPU. Yang terjadi adalah sumbangan disampaikan kepada bendahara untuk kemudian digunakan atau langsung digunakan secara operasional tanpa melalui pencatatan bendahara. Akibatnya Rekening Khusus Dana Kampanye Pemilu di bank saja belum mampu menggambarkan seluruh transaksi dan kegiatan kampanye peserta pemilu. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu menegaskan dalam peraturan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran harus tercatat dalam rekening khusus.
2. Pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon ternyata sudah menerima sumbangan dari berbagai pihak dan/atau mengeluarkan uang untuk keperluan pencalonan jauh sebelum pasangan calon didaftarkan kepada KPU sebagaimana diidentifikasi di atas. Ketika KPU meminta pasangan calon melaporkan saldo awal dalam Rekening Khusus Dana Kampanye ternyata yang dilaporkan hanya dana minimal untuk membuka rekening. Dana yang sudah diterima dan digunakan sebelum pembukaan rekening khusus tidak dimasukkan ke dalam rekening khusus. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu membuat pengaturan yang tak hanya mewajibkan pasangan calon/tim kampanye mencatat transaksi tersebut dalam rekening khusus, yaitu dengan mencatatnya sebagai saldo awal, tetapi juga melaporkan seluruh transaksi sebelum pendaftaran pasangan calon dalam laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pilkada.
3. Pasangan calon/tim kampanye pasangan calon belum disiplin mencatat dan melaporkan sumbangan pihak ketiga, yaitu mereka yang melaksanakan sejumlah kegiatan kampanye (mengeluarkan dana) bagi pasangan calon tersebut dengan uang sendiri dan/ atau menggunakan sumbangan pihak lain. Sumbangan yang diterima dalam bentuk nonkas (in kind) juga belum dicatat dan dilaporkan oleh tim kampanye. KPUD perlu menegaskan ketentuan ini ketika melakukan sosialisasi kepada tim kampanye pasangan calon pemilihan kepala daerah.
4. Menurut ketentuan laporan penerimaan dan pengeluaran pasangan calon merupakan laporan konsolidasi. Dari laporan kantor akuntan publik (KAP), terlihat belum semua penerimaan kas dan nonkas tim kampanye daerah dicatat dan dilaporkan. KPUD perlu mempertimbangkan pembuatan peraturan yang juga mewajibkan tim kampanye daerah (tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan untuk pemilihan gubernur serta tingkat kecamatan untuk pemilihan bupati/wali kota) mencatat dan melaporkan semua penerimaan dan pengeluaran, baik kas maupun nonkas, sehingga termasuk yang akan diaudit oleh KAP.
5. Tidak semua sumbangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori sumber sumbangan menurut undang- undang, yaitu partai politik/gabungan partai politik yang mencalonkan, pasangan calon, dan perseorangan dan badan hukum swasta. Bila sekelompok orang melakukan kegiatan usaha mencari dana dengan menjual barang tertentu dan hasilnya disumbangkan kepada pasangan calon tertentu, sedangkan sekelompok orang tersebut tidak mempunyai hubungan atau perjanjian apa pun dengan pasangan calon, ke dalam kategori apakah sumbangan ini dimasukkan. Sumbangan ini jelas tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan perseorangan karena melibatkan sekelompok orang. Sumbangan ini juga tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan badan hukum swasta karena sekelompok orang tersebut tidak membentuk badan usaha. Apabila pasangan calon/ tim kampanye dapat melakukan kegiatan usaha mencari dana, KPUD perlu mempertimbangkan hal berikut. Bila jenis usaha tersebut berupa penjualan barang, sebaiknya sumbangan ini dikelompokkan sebagai sumbangan dunia usaha walaupun tanpa status badan hukum. Bila jenis usaha tersebut berupa penggalangan sumbangan dari sejumlah orang, sumbangan ini harus dikategorikan sebagai sumbangan perseorangan.
6. Karena waktu yang tersedia untuk proses pelaksanaan audit hanya 15 hari, maka pengecekan yang dilakukan KAP terhadap semua bentuk sumbangan, terutama penyumbang individual dan badan hukum swasta hanya secara acak dengan kuesioner sehingga kurang menyeluruh dan mendalam. Oleh karena itu, apabila memungkinkan, KPUD perlu mempertimbangkan waktu yang lebih memadai bagi KAP untuk melakukan audit. Keterbatasan waktu yang tersedia dapat pula diatasi dengan meminta lembaga pemantau, yang khusus memantau dana kampanye pilkada, dan panwas, menyerahkan hasil pemantauan dana kampanye pilkada untuk digunakan sebagai bahan audit oleh KAP.
7. KAP perlu diberi kewenangan melakukan audit investigation bila terjadi kesenjangan pengeluaran dan penerimaan dari laporan pasangan calon.
Dari segi penegakan hukum, berdasarkan hasil audit KAP terhadap laporan pasangan calon, KPUD berwenang mengenakan sanksi pembatalan calon apabila pasangan calon/tim kampanye terbukti: (a) menerima sumbangan/ bantuan lain dari pihak negara, swasta, LSM, dan warga asing, (b) menerima sumbangan/bantuan lain dari pihak yang tidak jelas identitasnya, dan (c) menerima sumbangan/bantuan lain dari pemerintah, BUMN, dan BUMD. Selain itu, apabila pengadilan menyatakan pasangan calon/ tim kampanye terbukti memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPUD juga harus mendiskualifikasi pasangan calon tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan membatalkan calon seperti ini yang semula berada pada DPRD kini dialihkan kepada KPUD karena KPUD-lah yang menetapkan calon.
Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005 ternyata tidak memberikan sanksi bagi penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam UU No 32 Tahun 2004. Bila kekosongan hukum ini tidak segera diatasi, misalnya, mengaturnya dalam peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perpu) yang kini tengah disiapkan oleh pemerintah, tidak saja tidak ada gunanya menetapkan batas maksimal sumbangan dalam UU, tetapi juga akan memperlakukan pasangan calon lain dan para pemilih secara tidak adil.
E. Landasan Hukum Pilkada.
Indonsia pertama kali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepada desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubenur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupatenm dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
F. Mewaspadai Politik Uang di Pilkada
Politik uang merupakan salah satu praktik busuk yang dikhawatirkan banyak pihak dapat mengancam pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) bulan Juni. Begitu berbahayanya praktik politik uang tersebut tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kemurnian dari proses pelaksanaan pilkada. Lalu benarkah praktik politik uang akan mewarnai perjalanan pesta pilkada nanti? Mengingat isu-isu tentang praktik politik uang dalam setiap pesta politik di negeri ini selalu saja hampir terjadi, seperti misalnya pada pesta pemilu. Pertanyaan di atas patut dicermati, jika tidak akan dapat mengancam proses demokrasi yang sedang berlangsung.Wacana tentang politik uang pada setiap pesta politik di Indonesia memang selalu menjadi topik menarik untuk di bicarakan. Sebab memang permainan politik uang akan menjurus kepada hasil yang tidak mempunyai legitimasi bagi suatu pembentukan pemerintahan yang kuat dan dicintai rakyat. Di samping itu, politik uang jelas akan menghancurkan sistem demokrasi yang sedang giat-giatnya kita bangun.
Lalu apakah yang dimaksud dengan politik uang tersebut? Sehingga begitu hebat sekali pengaruhnya dalam membunuh kehidupan demokrasi. Sampai saat ini memang tidak ada definisi yang khusus mengenai apa itu politik uang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah politik uang juga tidak ditemukan, sehingga kejahatan ini sangat sulit dibuktikan untuk kemudian diselesaikan secara hukum. Buktinya sampai sekarang belum ada seorang pun yang diajukan ke meja hijau karena terlibat praktik politik uang. Dibutuhkan bukti-bukti yang sangat konkret untuk membuktikan kejahatan ini.
Meskipun demikian, dalam Undang-Undang No 12/2002 tentang pemilu khususnya Pasal 110 telah menyebutkan, 'bahwa suatu tindakan yang dalam hal ini politik uang mencakup dua aspek'. Pertama, dari sisi pelaku; pelakunya adalah calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kedua, dari sisi bentuknya; berupa menjanjikan dan atau memberikan uang dan atau materi lainnya kepada pemilih. Berdasarkan penjabaran UU tersebut, politik uang bisa dikategorikan kepada kejahatan korupsi. Karena ia memberikan suap berupa uang kepada pihak lain untuk mencapai tujuan politik. Dalam kaitan ini pemberi dan penerima dapat dikategorikan sama-sama melakukan pelanggaran, sehingga kedua belah pihak dapat dikenakan sanksi tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
Agar praktik-praktik politik uang dalam pilkada nanti tidak tumbuh dan berkembang, pihak-pihak terkait dalam hal ini KPUD, partai politik, LSM, mahasiswa, tokoh masyarakat dan elemen masyarakat lainnya yang berkeinginan akan lahirnya pemerintahan daerah yang bersih, berwibawa, jujur, dan adil hendaknya perlu 'mewaspadai praktik-praktik politik' uang tersebut. Jangan sampai praktik politik uang berlangsung pada saat menjelang atau saat pelaksanaan pilkada nanti. Cara mengantisipasi praktik politik uang ini bisa saja dilakukan dengan mengawasi secara ketat pelaksanaan pilkada, mulai dari tahap awal pendaftaran atau penyaringan nama-nama bakal calon kepala daerah sampai saat pemilihan berlangsung. Jika ada yang terbukti melakukan praktik politik uang, pihak-pihak yang berkepentingan harus dengan tegas memberikan sanksi. Misalnya sanksi hukum dan calon tidak diperbolehkan untuk ikut dalam proses pilkada.(Oksidelfa Yanto, Peneliti CSIS, Jakarta)
Mengenai isu politik uang, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menyusun program pencegahan praktik politik uang (money politic) yang berpeluang terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2010 di beberapa daerah. Anggota Bawaslu Wirdaningsih mengatakan, langkah antisipatif yang sudah dilakukan itu adalah dengan memetakan daerah-daerah yang rawan dan berpotensi muncul politik uang. Peta ini disusun berdasarkan beberapa fase rawan. “Fase rawan itu adalah tahapan pencalonan dan tahapan kampanye.
Daerah-daerah ini yang menjadi titik fokus kami dalam menyorot praktik money politic, tegas Wirdaningsih di Jakarta kemarin. Dia mengatakan, selain memetakan wilayah rawan, Bawaslu juga memfokuskan pengawasan kepada calon incumbent. Menurut Regulatory Approval Expert in Indonesia, incumbent memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan pelanggaran pilkada, baik melalui politik uang, penyalahgunaan wewenang, maupun pemanfaatan kekuasaan.
G. Pilkada Langsung Rusak karena Virus Politik Uang
JAKARTA" (Suara Karya) Meskipun pemilihan kepada daerah (pilkada) secara langsung menimbulkan biaya politik yang mahal, tetapi dari sisi legitimasi dari hasil pemilihannya akan lebih kuat
"Biaya politik dari pilkada langsung memang cukup mahal, tetapi legitimasinya lebih kuat Lagi pula, sebenarnya yang harus dihindari bukanlah berapa besar biayanya melainkan masalah politik uang (money politics)," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di sela acara buka puasa dengan wartawan di kediamannya di Jakarta, Kamis (19/8) malam. Hal sama juga dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Dia menambahkan, masalah politik uang merupakan salah satu persoalan dalam pilkada yang perlu diwaspadai. Sebab, bersifat destruktif karena termasuk pragmatisme politik yang paling vulgar karena menyebabkan kesadaran poltik jadi rusak.
"Karena nantinya yang menjadi pertimbangan politik bukanlah hal-hal yang objektif melainkan karena melihat sejumlah uang Itu yang harus menjadi agenda bersama kalau kita ingin demokrasi yang lebih sehat," ujarnya. Sebenarnya, menurut Anas, problemnya yangpaling1 rrlendasar bukan pada sistem pilkada langsung tersebut tetapi akibat sejumlah aspek dalam penyelenggaraan di lapangan, mulai dari tahapan rekruitmen calon, penye-lenggaraaan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah, pola hubungan calon dengan pemilih, hingga metode kampanye.
Selain itu, jika pemilu langsung hanya menyebabkan besarnya biaya politik karena untuk iklan atau kampanye, Anas menilai, hal itu tidak sepenuhnya benar. "Kalau dilihat dari pil-kada-pilkada, biaya iklan itu tidak terlalu tinggi, apakah iklan di media atau alat-alat peraga. Yang besar itu jika terjadi penyimpangan, misalnya pembelian suara," katanya. Dia mengakui, jika ditemukan biaya pemenangan dibeberapa tempat yang besar karena faktornya pembelian suara. Hal itu terjadi akibat terdapat kandidat yang modal popularitas dan elektabilitasnya tidak maksimal. Sehingga, ujar dia, yang diandalkan adalah modal pembelian suara. Seperti seperti ditehaui ada beberapa modal yang biasanya muncul di dalam setiap pilkada, yakni modal sosial dan politiknya.
"Dengan begitu, jika kandidat yang bersangkutan memiliki modalsosial dan politik yang cukup tinggi maka biaya pemenanggaannya otomatis tidak terlalu besar. Sebaliknya, jika tingkat popularitas dan tingkat pemilihannya rendah, maka mau tidak mau biaya pemenangannya menjadi besar," ujarnya.
JAKARTA" (Suara Karya) Meskipun pemilihan kepada daerah (pilkada) secara langsung menimbulkan biaya politik yang mahal, tetapi dari sisi legitimasi dari hasil pemilihannya akan lebih kuat "Biaya politik dari pilkada langsung memang cukup mahal, tetapi legitimasinya lebih kuat Lagi pula, sebenarnya yang harus dihindari bukanlah berapa besar biayanya melainkan masalah politik uang (money politics)," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di sela acara buka puasa dengan wartawan di kediamannya di Jakarta, Kamis (19/8) malam. "Karena nantinya yang menjadi pertimbangan politik bukanlah hal-hal yang objektif melainkan karena melihat sejumlah uang Itu yang harus menjadi agenda bersama kalau kita ingin demokrasi yang lebih sehat," ujarnya.
Pemilihan Umum Kapala Daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepada daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat.yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah :
- Gubernur dan wakil gubernur untuk Provinsi.
- Bupati dan wakil bupati untuk Kabupaten.
- Walikota dan wakil walikota untuk Kota.
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama “Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Munculnya pilkada langsung ini adalah suatu yang baik dalam proses perkembangan demokrasi dan demokratisasi di tanah air. Melalui pelaksanaan otonomi daerah yang dijadikan sebagai media untuk mendesentralisasikan sistem demokrasi yang semakin disempurnakan, termasuk melalui pilkada ini, diharapkan akan menggairahkan dan merangsang tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru yang pro demokrasi di daerah. Artinya, melalui pemilihan kepala daerah yang secara langsung ini, akan lahir aktor-aktor demokrasi di daerah, yang kemudian diharapkan akan sanggup membuat kontrak politik dengan segenap komponen masyarakat, serta mampu melakukan gerakan-gerakan baru bagi perubahan.
Jika selama ini, kepala daerah dipilih oleh sekelompok “elit” di DPRD, yang ternyata tidak jarang tercium aroma tak sedap, berupa politik kongkalikong di antara elit-elit politik daerah, hanya menimbulkan malapetaka politik bagi rakyat. Maka kita tak heran, ketika pemilihan kepala daerah, tak jarang muncul calon yang justru sangat “dibenci” rakyat. Akan tetapi dengan bermodalkan kekuatan yang ada padanya (misalnya uang), kemudian digunakan untuk mengelabui lembaga DPRD, untuk akhirnya memilihnya. Pada saat yang sama ada banyak anggota DPRD yang justru menunggu dan menginginkan hal tersebut.
Melalui pilkada, pemerintahan di tingkat lokal akan semakin dekat dengan rakyat, kemudian sekaligus akan menciptakan akuntabilitas yang tinggi dari rakyat untuk pemerintahan lokal. Maka dengan demikian akan tercipta juga responsiveness yang baik juga. Misalnya melalui semakin kritisnya rakyat dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal.
Pemilihan secara langsung bagi para kepala daerah (local government heads) dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (local representative council), merupakan salah satu syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsif, serta terbangunnya apa yang mereka sebut dengan political equality (persamaan hak politik) di tingkat lokal.
B. Faktor Pendorong Munculnya Suap Pilkada Langsung
Ruang sempit yang disediakan untuk calon independen hanya sekadar basa-basi guna menimbulkan kesan demokratis. Dikatakan demikian, kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada calon perorangan tidak diikuti dengan sanksi yang tegas jika partai politik tidak melaksanakannya. Apalagi ada aturan bahwa proses seleksi calon perorangan harus sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Pertanyaannya, sudah seberapa banyakkah partai politik membuat aturan internal yang memungkinkan calon perorangan bersaing secara fair? Persoalan ini merupakan pintu awal masukkan suap pada proses pilkada langsung.
Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 dan PP No 6/2005 tidak terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2), Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Dengan definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan. Dalam kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri pada partai politik hingga ke masa kampanye.
Pencalonan kepala daerah yang harus melalui pintu partai politik yang memenuhi persyaratan tertentu diprediksi bakal menjadi pintu masuk terjadinya konflik. Karena calon nonpartai yang dikenal mempunyai pendukung kuat pun harus melalui pintu parpol, bisa timbul masalah jika keinginan tersebut ternyata tidak diakomodasi oleh parpol yang ada. Elite parpol yang berpikir pragmatis tentunya tidak akan dengan gampang memberi jalan kepada calon yang bukan kader partainya. Selain itu, polarisasi politik juga menjadi faktor pemicu konflik. Jika keragaman parpol, kelompok etnis, atau agama tidak menjadi pertimbangan parpol atau gabungan parpol dalam mengajukan pasangan calonnya, bisa muncul kekerasan dari kelompok yang merasa terancam eksistensinya akibat datangnya rezim monolitik itu.
C. Upaya yang Dilakukan Oleh Aparat Penegak Hukum Untuk Mengatasi Problematika Pilkada Langsung
Opini publik yang berkembang pada saat aturan hukum pilkada dirumuskan bahwa pilkada langsung dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan praktek suap ternyata tidak dapat dipertahankan lagi. Sebagai ilustrasi berikut ini disajikan resume hasil penelitian permasalah pilkada;
Menurut Topo Santoso, salah satu kekurangan dari peraturan perundang yang mengatur pilkada adalah minimnya alasan menggugat hasil pilkada. UU No 32 Tahun 2004 hanya mengenal satu alasan. Hasil pemilihan bisa digugat bila KPUD salah menghitung. Padahal, bisa saja terjadi kesalahan besar dalam pendaftaran pemilih sehingga pendukung salah satu kandidat kehilangan hak pilih, seperti terjadi di Cilegon. Salah seorang calon menduga, lebih dari 56.000 pendukungnya kehilangan hak pilih. Kecurangan lain yang berpotensi memengaruhi hasil adalah suap. Ini pun tidak bisa dijadikan alasan menggugat hasil pilkada. Juga kecurangan di tahapan pendaftaran pemilih, tahapan kampanye, kekerasan atau ancaman kekerasan, pelibatan PNS atau penyalahgunaan kekuasaan, menghalangi pemilih, dan aneka kecurangan lain. Solusi hukumnya jelas. Berikan hak kepada pihak yang merasa dirugikan untuk menyanggah penetapan KPUD dengan mekanisme hukum yang jelas. Sementara itu, dasar untuk menggugat hasil pilkada harus diperluas, bukan hanya terjadinya kesalahan penghitungan oleh KPUD, tetapi juga mencakup terjadinya kesalahan, kecurangan, manipulasi, atau tindak pidana pemilihan yang bisa memengaruhi hasil. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan memperbaiki atau melengkapi UU Pemerintah Daerah.
Definisi suap dalam pemilihan kepala daerah langsung perlu diperjelas untuk menghindari kambuhnya "penyakit pemilu" itu dalam pilkada Juni 2005. Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tidak terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2), Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Menurut penulis, definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan. Dalam kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri pada partai politik hingga ke masa kampanye.
D. Upaya Mencegah Suap
Mengutip pendapat Ramlan Surbakti, setidak-tidaknya tiga cara dapat ditempuh untuk mencegah praktik suap, yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, dan melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri. Cara pertama diadopsi oleh peraturan perundang-undangan, tetapi pengaturannya masih harus dilengkapi oleh KPU provinsi/KPU kabupaten/kota. Berdasarkan pengalaman menangani pelaporan dan audit dana kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2004, tujuh hal berikut perlu diadopsi oleh KPUD.
1. Belum semua penerimaan dan pengeluaran tercatat dalam rekening khusus di bank yang sudah dilaporkan kepada KPU. Yang terjadi adalah sumbangan disampaikan kepada bendahara untuk kemudian digunakan atau langsung digunakan secara operasional tanpa melalui pencatatan bendahara. Akibatnya Rekening Khusus Dana Kampanye Pemilu di bank saja belum mampu menggambarkan seluruh transaksi dan kegiatan kampanye peserta pemilu. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu menegaskan dalam peraturan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran harus tercatat dalam rekening khusus.
2. Pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon ternyata sudah menerima sumbangan dari berbagai pihak dan/atau mengeluarkan uang untuk keperluan pencalonan jauh sebelum pasangan calon didaftarkan kepada KPU sebagaimana diidentifikasi di atas. Ketika KPU meminta pasangan calon melaporkan saldo awal dalam Rekening Khusus Dana Kampanye ternyata yang dilaporkan hanya dana minimal untuk membuka rekening. Dana yang sudah diterima dan digunakan sebelum pembukaan rekening khusus tidak dimasukkan ke dalam rekening khusus. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu membuat pengaturan yang tak hanya mewajibkan pasangan calon/tim kampanye mencatat transaksi tersebut dalam rekening khusus, yaitu dengan mencatatnya sebagai saldo awal, tetapi juga melaporkan seluruh transaksi sebelum pendaftaran pasangan calon dalam laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pilkada.
3. Pasangan calon/tim kampanye pasangan calon belum disiplin mencatat dan melaporkan sumbangan pihak ketiga, yaitu mereka yang melaksanakan sejumlah kegiatan kampanye (mengeluarkan dana) bagi pasangan calon tersebut dengan uang sendiri dan/ atau menggunakan sumbangan pihak lain. Sumbangan yang diterima dalam bentuk nonkas (in kind) juga belum dicatat dan dilaporkan oleh tim kampanye. KPUD perlu menegaskan ketentuan ini ketika melakukan sosialisasi kepada tim kampanye pasangan calon pemilihan kepala daerah.
4. Menurut ketentuan laporan penerimaan dan pengeluaran pasangan calon merupakan laporan konsolidasi. Dari laporan kantor akuntan publik (KAP), terlihat belum semua penerimaan kas dan nonkas tim kampanye daerah dicatat dan dilaporkan. KPUD perlu mempertimbangkan pembuatan peraturan yang juga mewajibkan tim kampanye daerah (tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan untuk pemilihan gubernur serta tingkat kecamatan untuk pemilihan bupati/wali kota) mencatat dan melaporkan semua penerimaan dan pengeluaran, baik kas maupun nonkas, sehingga termasuk yang akan diaudit oleh KAP.
5. Tidak semua sumbangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori sumber sumbangan menurut undang- undang, yaitu partai politik/gabungan partai politik yang mencalonkan, pasangan calon, dan perseorangan dan badan hukum swasta. Bila sekelompok orang melakukan kegiatan usaha mencari dana dengan menjual barang tertentu dan hasilnya disumbangkan kepada pasangan calon tertentu, sedangkan sekelompok orang tersebut tidak mempunyai hubungan atau perjanjian apa pun dengan pasangan calon, ke dalam kategori apakah sumbangan ini dimasukkan. Sumbangan ini jelas tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan perseorangan karena melibatkan sekelompok orang. Sumbangan ini juga tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan badan hukum swasta karena sekelompok orang tersebut tidak membentuk badan usaha. Apabila pasangan calon/ tim kampanye dapat melakukan kegiatan usaha mencari dana, KPUD perlu mempertimbangkan hal berikut. Bila jenis usaha tersebut berupa penjualan barang, sebaiknya sumbangan ini dikelompokkan sebagai sumbangan dunia usaha walaupun tanpa status badan hukum. Bila jenis usaha tersebut berupa penggalangan sumbangan dari sejumlah orang, sumbangan ini harus dikategorikan sebagai sumbangan perseorangan.
6. Karena waktu yang tersedia untuk proses pelaksanaan audit hanya 15 hari, maka pengecekan yang dilakukan KAP terhadap semua bentuk sumbangan, terutama penyumbang individual dan badan hukum swasta hanya secara acak dengan kuesioner sehingga kurang menyeluruh dan mendalam. Oleh karena itu, apabila memungkinkan, KPUD perlu mempertimbangkan waktu yang lebih memadai bagi KAP untuk melakukan audit. Keterbatasan waktu yang tersedia dapat pula diatasi dengan meminta lembaga pemantau, yang khusus memantau dana kampanye pilkada, dan panwas, menyerahkan hasil pemantauan dana kampanye pilkada untuk digunakan sebagai bahan audit oleh KAP.
7. KAP perlu diberi kewenangan melakukan audit investigation bila terjadi kesenjangan pengeluaran dan penerimaan dari laporan pasangan calon.
Dari segi penegakan hukum, berdasarkan hasil audit KAP terhadap laporan pasangan calon, KPUD berwenang mengenakan sanksi pembatalan calon apabila pasangan calon/tim kampanye terbukti: (a) menerima sumbangan/ bantuan lain dari pihak negara, swasta, LSM, dan warga asing, (b) menerima sumbangan/bantuan lain dari pihak yang tidak jelas identitasnya, dan (c) menerima sumbangan/bantuan lain dari pemerintah, BUMN, dan BUMD. Selain itu, apabila pengadilan menyatakan pasangan calon/ tim kampanye terbukti memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPUD juga harus mendiskualifikasi pasangan calon tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan membatalkan calon seperti ini yang semula berada pada DPRD kini dialihkan kepada KPUD karena KPUD-lah yang menetapkan calon.
Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005 ternyata tidak memberikan sanksi bagi penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam UU No 32 Tahun 2004. Bila kekosongan hukum ini tidak segera diatasi, misalnya, mengaturnya dalam peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perpu) yang kini tengah disiapkan oleh pemerintah, tidak saja tidak ada gunanya menetapkan batas maksimal sumbangan dalam UU, tetapi juga akan memperlakukan pasangan calon lain dan para pemilih secara tidak adil.
E. Landasan Hukum Pilkada.
Indonsia pertama kali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir 1955 yang diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004 telah dilaksanakan pemilu secara langsung untuk memilih wakil wakil rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan juni 2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepada desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubenur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupatenm dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
F. Mewaspadai Politik Uang di Pilkada
Politik uang merupakan salah satu praktik busuk yang dikhawatirkan banyak pihak dapat mengancam pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) bulan Juni. Begitu berbahayanya praktik politik uang tersebut tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kemurnian dari proses pelaksanaan pilkada. Lalu benarkah praktik politik uang akan mewarnai perjalanan pesta pilkada nanti? Mengingat isu-isu tentang praktik politik uang dalam setiap pesta politik di negeri ini selalu saja hampir terjadi, seperti misalnya pada pesta pemilu. Pertanyaan di atas patut dicermati, jika tidak akan dapat mengancam proses demokrasi yang sedang berlangsung.Wacana tentang politik uang pada setiap pesta politik di Indonesia memang selalu menjadi topik menarik untuk di bicarakan. Sebab memang permainan politik uang akan menjurus kepada hasil yang tidak mempunyai legitimasi bagi suatu pembentukan pemerintahan yang kuat dan dicintai rakyat. Di samping itu, politik uang jelas akan menghancurkan sistem demokrasi yang sedang giat-giatnya kita bangun.
Lalu apakah yang dimaksud dengan politik uang tersebut? Sehingga begitu hebat sekali pengaruhnya dalam membunuh kehidupan demokrasi. Sampai saat ini memang tidak ada definisi yang khusus mengenai apa itu politik uang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah politik uang juga tidak ditemukan, sehingga kejahatan ini sangat sulit dibuktikan untuk kemudian diselesaikan secara hukum. Buktinya sampai sekarang belum ada seorang pun yang diajukan ke meja hijau karena terlibat praktik politik uang. Dibutuhkan bukti-bukti yang sangat konkret untuk membuktikan kejahatan ini.
Meskipun demikian, dalam Undang-Undang No 12/2002 tentang pemilu khususnya Pasal 110 telah menyebutkan, 'bahwa suatu tindakan yang dalam hal ini politik uang mencakup dua aspek'. Pertama, dari sisi pelaku; pelakunya adalah calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kedua, dari sisi bentuknya; berupa menjanjikan dan atau memberikan uang dan atau materi lainnya kepada pemilih. Berdasarkan penjabaran UU tersebut, politik uang bisa dikategorikan kepada kejahatan korupsi. Karena ia memberikan suap berupa uang kepada pihak lain untuk mencapai tujuan politik. Dalam kaitan ini pemberi dan penerima dapat dikategorikan sama-sama melakukan pelanggaran, sehingga kedua belah pihak dapat dikenakan sanksi tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
Agar praktik-praktik politik uang dalam pilkada nanti tidak tumbuh dan berkembang, pihak-pihak terkait dalam hal ini KPUD, partai politik, LSM, mahasiswa, tokoh masyarakat dan elemen masyarakat lainnya yang berkeinginan akan lahirnya pemerintahan daerah yang bersih, berwibawa, jujur, dan adil hendaknya perlu 'mewaspadai praktik-praktik politik' uang tersebut. Jangan sampai praktik politik uang berlangsung pada saat menjelang atau saat pelaksanaan pilkada nanti. Cara mengantisipasi praktik politik uang ini bisa saja dilakukan dengan mengawasi secara ketat pelaksanaan pilkada, mulai dari tahap awal pendaftaran atau penyaringan nama-nama bakal calon kepala daerah sampai saat pemilihan berlangsung. Jika ada yang terbukti melakukan praktik politik uang, pihak-pihak yang berkepentingan harus dengan tegas memberikan sanksi. Misalnya sanksi hukum dan calon tidak diperbolehkan untuk ikut dalam proses pilkada.(Oksidelfa Yanto, Peneliti CSIS, Jakarta)
Mengenai isu politik uang, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menyusun program pencegahan praktik politik uang (money politic) yang berpeluang terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2010 di beberapa daerah. Anggota Bawaslu Wirdaningsih mengatakan, langkah antisipatif yang sudah dilakukan itu adalah dengan memetakan daerah-daerah yang rawan dan berpotensi muncul politik uang. Peta ini disusun berdasarkan beberapa fase rawan. “Fase rawan itu adalah tahapan pencalonan dan tahapan kampanye.
Daerah-daerah ini yang menjadi titik fokus kami dalam menyorot praktik money politic, tegas Wirdaningsih di Jakarta kemarin. Dia mengatakan, selain memetakan wilayah rawan, Bawaslu juga memfokuskan pengawasan kepada calon incumbent. Menurut Regulatory Approval Expert in Indonesia, incumbent memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan pelanggaran pilkada, baik melalui politik uang, penyalahgunaan wewenang, maupun pemanfaatan kekuasaan.
G. Pilkada Langsung Rusak karena Virus Politik Uang
JAKARTA" (Suara Karya) Meskipun pemilihan kepada daerah (pilkada) secara langsung menimbulkan biaya politik yang mahal, tetapi dari sisi legitimasi dari hasil pemilihannya akan lebih kuat
"Biaya politik dari pilkada langsung memang cukup mahal, tetapi legitimasinya lebih kuat Lagi pula, sebenarnya yang harus dihindari bukanlah berapa besar biayanya melainkan masalah politik uang (money politics)," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di sela acara buka puasa dengan wartawan di kediamannya di Jakarta, Kamis (19/8) malam. Hal sama juga dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Dia menambahkan, masalah politik uang merupakan salah satu persoalan dalam pilkada yang perlu diwaspadai. Sebab, bersifat destruktif karena termasuk pragmatisme politik yang paling vulgar karena menyebabkan kesadaran poltik jadi rusak.
"Karena nantinya yang menjadi pertimbangan politik bukanlah hal-hal yang objektif melainkan karena melihat sejumlah uang Itu yang harus menjadi agenda bersama kalau kita ingin demokrasi yang lebih sehat," ujarnya. Sebenarnya, menurut Anas, problemnya yangpaling1 rrlendasar bukan pada sistem pilkada langsung tersebut tetapi akibat sejumlah aspek dalam penyelenggaraan di lapangan, mulai dari tahapan rekruitmen calon, penye-lenggaraaan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah, pola hubungan calon dengan pemilih, hingga metode kampanye.
Selain itu, jika pemilu langsung hanya menyebabkan besarnya biaya politik karena untuk iklan atau kampanye, Anas menilai, hal itu tidak sepenuhnya benar. "Kalau dilihat dari pil-kada-pilkada, biaya iklan itu tidak terlalu tinggi, apakah iklan di media atau alat-alat peraga. Yang besar itu jika terjadi penyimpangan, misalnya pembelian suara," katanya. Dia mengakui, jika ditemukan biaya pemenangan dibeberapa tempat yang besar karena faktornya pembelian suara. Hal itu terjadi akibat terdapat kandidat yang modal popularitas dan elektabilitasnya tidak maksimal. Sehingga, ujar dia, yang diandalkan adalah modal pembelian suara. Seperti seperti ditehaui ada beberapa modal yang biasanya muncul di dalam setiap pilkada, yakni modal sosial dan politiknya.
"Dengan begitu, jika kandidat yang bersangkutan memiliki modalsosial dan politik yang cukup tinggi maka biaya pemenanggaannya otomatis tidak terlalu besar. Sebaliknya, jika tingkat popularitas dan tingkat pemilihannya rendah, maka mau tidak mau biaya pemenangannya menjadi besar," ujarnya.
JAKARTA" (Suara Karya) Meskipun pemilihan kepada daerah (pilkada) secara langsung menimbulkan biaya politik yang mahal, tetapi dari sisi legitimasi dari hasil pemilihannya akan lebih kuat "Biaya politik dari pilkada langsung memang cukup mahal, tetapi legitimasinya lebih kuat Lagi pula, sebenarnya yang harus dihindari bukanlah berapa besar biayanya melainkan masalah politik uang (money politics)," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di sela acara buka puasa dengan wartawan di kediamannya di Jakarta, Kamis (19/8) malam. "Karena nantinya yang menjadi pertimbangan politik bukanlah hal-hal yang objektif melainkan karena melihat sejumlah uang Itu yang harus menjadi agenda bersama kalau kita ingin demokrasi yang lebih sehat," ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar