Sabtu, 15 Januari 2011

PENDAHULUAN

Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran Islam, tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya. Al-Qur’an sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, sedangkan hadist sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi Al-Qur’an tersebut.
Allah SWT menurunkan Adz-Dzikr, yaitu Al-Qur’an bagi umat manusia. Agar Al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Allah SWT memerintahkan Rasullullah SAW untuk menjelaskannya.
Hadist sebagai penjelasn Al-Qur’an itu memiliki bermacam-macam fungsi. Salah satunya yaitu macam-macam hadist dilihat dari segi kualitas dan kuantitas. Disini kami akan membahas tentang kualitas dan kuantitas hadist serta kedudukan hadits dalam Hujjah.

PEMBAHASAN

A. PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS DAN KUANTITAS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadist bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan dua perawi.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya dari pada hadits yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat puluh orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yang semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadits tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadits yang demikian bukan termsuk hadits mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadits memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadits yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan (martabat) hadits ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.

1. Hadist Ditinjau Dari Kuantitas
a. Mutawatir
1) Mutawatir Lafdzi. Yang dimaksud dengan mutawatir lafdzi adalah yang mutawatir, baik dari segi lafalna maupun maknanya.
2) Mutawatir Ma’nawi. Mutawatir Ma’nawi adalah hadist yang mutawatir namun ari segi maknannya saja, dan terdapat perbedaan pada lafalnya. Seperti hadist yang menyatakan bahwa Rasullullah SAW mengangkat kedua tangannya ketika bedoa. Terdapat seratus hadist yang menyatakan hal ini, meskipun dalam permasalahan yang berbeda-beda.
b. Ahad
1). Hadist Masyhur
Dari segi bahasa, masyhur berarti idzhar yaitu tampak atau terlihat. Sedangkan dari segi istilah, masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada tiap tingkatan perawinya (thabaqah), namun tidak samapai pada derajat mutawatir.
2). Hadist Aziz
Dari segi bahasa aziz memilki dua pengertian, pertama qalla wa nadara yaitu sedikit dan jarang, kemudian yang kedua, qowiya wa istadda, yaitu kuat dan keras. Adapaun dari segi istilahnya, hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan tidak kurang dari dua perawi pada setiap thabaqah sanadnya.
3). Hadist Gharib
Dari segi bahasa, gharib bermakna “munfarid” yaitu menyendiri, atau “al-ba’id an aqaribihl” Yaitu jauh dari saudara-saudaranya. Sedangkan dari segi istilahnya, gharib adalah hadist yang diriwayatkan hanya oleh satu orang perawi saja, baik pada seluruh ataupun salah satu thabaqatnya.

2. Hadits Ditinjau Dari Kualitasnya
Dilihat dari kualitasnya, hadist terbagi menjadi tiga, yaitu Shahih, Hasan dan Dhaif. Dari ketiga hadist ini terbagi-bagi lagi menjadi bagian-bagiannya masing-masing:
a. Hadist Shahih
Dari segi bahasa Shahih berarti dhiddus saqim, yaitu lawan kata dari sakit. Sedangkan dari segi istilahnya, hadist shahih adalah hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari sejak awal hingga akhir sanad, tanpa adanya syadz dan illat.

"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
Penjelasan definisi:
• Sanadnya bersambung, yaitu bahwa setiap perawi dari seluruh perawinya meriwayatkan hadist tersebut secara langsung dari syeknya. Kondisi dari awal hingga akhir sanad hadist.
• Perawi yang adil, yaitu bahwa seluruh perawinya harus memiliki sifat-sifat seperti Islam, baligh, berakal, tidak fasiq dan tidak memilki cacat yang menghilangkan muru’ahnya.
• Dhabit, yaitu bahwa seluruh perawi yang ada harus memilki ketepatan, baik dalam hafalan hadist, maupun dari tulisan atau catatn hadist.
• Tidak syadz. Yang dimaksud dengan syadz adalah bertentangannya hadist perawi yang tsiqah dengan riwayat perawi lain yang lebi tsiqah darinya.
• Tidak ada illat. Sedangkan illat adalah sebab-sebab yang tidak terlihat, yang dapat merusak kesahihan suatu hadist, meskipun secara dzahir terlihat shahih.

Pembagian Hadist Shahih:
Hadist shahih terbagi menjadi dua, yaitu shahih lidzatihi dan shahih lighairihi.
• Shahih Lidzatihi
Shahih Lidzatihi adalah hadist yang secara mandiri telah memliki syarat-syarat keshahihan sebagaimana disebut di atas. Atau dengan kata lain, bahwa shahih lidzatihi adalah hadist shahih itu sendiri.
• Shahih Lighairihi
Shahih lighairihi adalah hadist hasan lidzatihi, apabila terdapat hadist dari jalur sanad lain yang menguatkannya, baik yang serupa atau yang lebih kuat darinya.
b. Hadist Hasan
Dari segi bahasa hasan berarti jamal (indah atau elok). Adapun dari segi istilah, hadist hasan adalah hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil namun tidak memiliki hafalan sekuat perawi hadist shahih, dari awal hingga akhir sanad tanpa adanya syad dan illat. Contoh :
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."
Pembagian Hadist Hasan:
• Hasan Lidzatihi
Hasan lidzatihi adalah hadist hasan itu sendiri, yaitu hadst yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil namun tidak memiliki hafalan sekuat perawi hadist shahih, dari awal hingga akhir sanad tanpa adanya syadz dan illat.
• Hasan Lighairi
Hasan lighairihi adalah hadist dhaif apabila dikuatkan dengan hadist melalui jalur sanad lain, dan penyebab kedhaifannya bukan karena kefasikan atau kedustaan perawinya.

c. Hadist Dha’if
Dari segi bahasa dhaif adalah lawan kata kuat. Adapun dari segi istilah dhaif adalah hadist yang tidak memiliki sifat hadist shahih dan hasan, dengan hilangnya salah satu syarat-syaratnya.
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."
Pembagian hadist Dha’if
Secara garis besar hadist dhaif dapat diklasifikasikan menjadi dua klasifikasi besar; yaitu dhaif yang disebabkan karena sanadnya tidak bersambung dan dhaif yang disebabkan karena sebab-sebab lain.
1) Dhaif yang disebabkan karena sanadnya tidak bersambung.
a) Mu’allaq, yaitu hadist yang pada permulaan sanadnya gugur seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
b) Mursal, Hadist yang pada sanadnya tidak disebutkan nama sahabat yang meriwayatkan langsung dari Rasullullah SAW, namun tabi’innya langsung menyebutkan dari Rasullullah SAW.
c) Mu’dhal, Hadist yang pada pertengahan sanadnya gugur dua orang rawi atau lebih secara berturut-turut.
d) Munqalt, Hadist yang pada pertengahan sanadnya gugur, seorang perawi atau lebih yang tidak berturut-turut.
e) Mudallas
 Tadlis Isnad. Hadist yang perawinya meriwayatkan hadist dari orang yang semasa dengannya namun sesungguhnya ia tidak pernah mendengarkan hadist darinya, dengan menggunakan lafal seolah-olah ia mendengarkan darinya.
 Tadlis Suyukh. Hadist yang dalam sanadnya perawi menyebut syekh yang ia dengar sebutan atau sifat yang tidak dikenal, dengan tujuan supaya keadaan syekhnya yang sebenarnya tidak diketahui orang. Hal ini bias karena syekhnya tersebut dhaif atau karena sebab lainnya.
2). Dhaif yang disebabkan karena sebab-sebab lain yang bukan karena ketidaktersambungan sanad.
a) Maudhu: Sesuatu yang diada-ada dan bukan berasala dari Rasullullah SAW, diatasnamakan bahwa ini berasal dari Rasullullah SAW, baik sengaja ataupun tidak sengaja.
b) Matruk: Hadist yang diriwayatkan dari perawi yang tertuduh berdusta serta tidak diketahui melainkan dari jaur sanadnya saja.
c) Munkar: Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, yang bertentangan dengan perawi tsiqah.
d) Mu’allat: Hadist yang seca dhazhirnya (permukaannya) terlihat shahih, namun ternyata memiliki aib/cacat tersembunyi.
e) Syadz: hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, namun ternyata bertentangan dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqah darinya.
f) Mudraj: Hadist yang bercampur baik pada sanad atau matannya dengan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari hadist tersebut.
g) Maqlub: Hadist yang pada sanadnya atau matannya ada pertukaran, dengan mengakhirkan yang awal atau mengawalkan yang akhir atau dengan hadist yang lainnya.
h) Mudhtarib: Hadist-hadist yang diriwayatkan dari berbagai jalur sanad yang sama-sama kuat dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya, dan tidak dapat diputuskan mana yang lebih kuat.

B. KEDUDUKAN HADITS
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbuldan hadis mardud.

1. Hadis Maqbul.
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
“Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
• Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
• Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut denganhadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma’mulin bihi.
a. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
 Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan.
 Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah.
 Hadis nasih.
 Hadis rajih.

b. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
 Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan.
 Hadis mansuh.
 Hadis marjuh.

2. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :
“Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan.”
Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:
“Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun.”
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi dhaif.

PENUTUP

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadist bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadist. Ditinjau dari segi jumlah perawinya, hadist dibagi menjadi dua Mutawatir dan Ahad. Dan Dilihat dari kualitasnya, hadist terbagi menjadi tiga, yaitu Shahih, Hasan dan Dhaif.
• Hadist Shahih ialah hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari sejak awal hingga akhir sanad, tanpa adanya syadz dan illat.
• Hadist Hasan ialah hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil namun tidak memiliki hafalan sekuat perawi hadist shahih, dari awal hingga akhir sanad tanpa adanya syad dan illat.
• Hadist Dhaif ialah hadist yang tidak memiliki sifat hadist shahih dan hasan, dengan hilangnya salah satu syarat-syaratnya.
Sehingga Kedudukan Hadits sebagai hujjah baik Hadis shahih, Hasan, dan Dhaif dan di kelompokkan kedalam Hadis Maqbul dan Hadits Mardud. Dimana hadis shahih dan ahad termasuk hadis Maqbul dan Hadis Dhoif merupakan hadis Mardud.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadist. CV. Pustaka Setia: Bandung, 2005.
an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Mesir : al-Mathba’at al-Mishriyah, 1924, juz I.
H.M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1995.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999.
Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis, Atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1994.
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis, Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis, Jakarta : Paramadina, 2000.
Mustafa Amin, Ibrahim al-Tazi, Muhadarat fi ‘Ulu al-Hadits, jami’ah al-azhar, 1971, jilid I.
Shubhi Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuhu, Beirut : Dar al-Ilm li al-Malayin, 1960.
Sharafuddin al-Musawi, Menggugat Abu Hurairah, Menelusuri Jejak Langkah dan Hadis-Hadisnya, Jakarta : Pustaka Zahra, 2002 .
Al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat Ulum al-Hadis, Kairo : Maktabah al-Mutanabbi, tt., h. 22-24

1 komentar:

  1. Ass....
    sukron akhi artikel nya, bisa bantu sedikit makalah saya.http://lh5.ggpht.com/_RVpTV2JOOxA/S1USeB9HOII/AAAAAAAAB5I/uLlq8RkH02w/t4belajarblogger3.gif

    BalasHapus