Senin, 24 Januari 2011

Hubungan Etnis Tionghoa Dengan Masyarakat Palembang

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan dinamika kehidupan dari masa ke masa telah meningkatkan komunikasi antaretnis. Terjadi proses interaksi antaretnis, suatu etnis yang telah mengembangkan keunikan budaya mereka kemudian mendapat pengaruh dari etnis di luar mereka. Beragam etnis itu mengembangkan komunikasi dan hubungan timbal balik diantara budaya-budaya yang berbeda-beda. Interaksi tidak hanya antarkomunitas dalam suatu etnis, namun diantara etnis yang beragam itu berinteraksi dengan etnis-etnis lain yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Dalam rentang waktu yang relatif lama telah terjadi akulturasi budaya. Kadang sebuah budaya tertentu dikuatkan karena pengaruh budaya lain. Pertemuan budaya itu tidak jarang juga melahirkan budaya baru yang mempunyai sifat-sifat yang khas. Banyak faktor yang menyebabkan adanya interaksi di antara etnis-etnis yang beragam di wilayah Indonesia. Faktor sosial dan politik juga seringkali menyebabkan sebuah etnis melakukan migrasi ke wilayah etnis lain. Karena berbagai faktor yang sangat beragam dan kompleks itu lalu terjalinlah akulturasi budaya di antara etnsi-etnis yang berbeda. Dalam komunikasi itu lalu timbul hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Dalam interaksi budaya antaretnis itu di satu sisi terjadi konflik yang serius. Di pihak lain terjadi integrasi sosial yang ditandai oleh ikatan sosial yang semakin memperkokoh hubungan antaretnis yang berbeda. Dalam komunikasi antaretnis itu muncul rasa saling menghargai, percaya, solidaritas, rukun, damai, dan sebagainya. Namun, pada sisi lain menunjukkan bahwa interaksi antarbudaya itu telah melemahkan, ikatan sosial di antara beberapa etnis itu menjadi renggang. Seringkali juga terjadi konflik yang serius antara etnis dengan mengembangkan kebencian, curiga, merasa terancam, konflik baik fisik maupun non fisik,
Dengan melihat aspek integrasi antaretnis itu sekaligus akan dilihat bagaimanakah pengelolaan keragaman budaya itu. Dengan melihat sisi yang positif dari hubungan sosial itu, bisa dibangun model hubungan sosial yang positif. Model ini tentu saja bukan dipaksakan untuk diterapkan di beberapa wilayah Indonesia tetapi model ini bisa menjadi inspirasi bagi kerukunan di daerah lain.
Dengan membahas integrasi sosial kita sekaligus akan membahas masalah disintegrasi sosial. Kerukunan itu bukan berarti tidak adanya konflik, konflik itu tetap ada tetapi bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikannya dengan baik. Dengan melihat adanya disintegrasi dalam komunikasi antarbudaya maka dapat dijelaskan bagaimanakah model pengelolaan keberagamaan itu agar terbentuk integrasi sosial?

B. Rumusan Masalah
1. Mengualas secara singkat sjarah kota Palembang.
2. Masuknya Etnis tionghoa ke Palembang.
3. Bagimana Hubungan dengan Etnis Tionghoa
4. Adakah konflik yang terjadi antara etnis tionghoa dengan pribumi.!?

C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah memaparkan tentang pengelolaan keragaman budaya di antara etnis-etnis yang berbeda-beda. Dalam interaksi budaya itu telah terjadi integrasi dan disintegrasi sosial dalam masyarakat yang multikultur. Dengan mengetahui integrasi dan disintegrasi sosial maka diharapkan dapat memberikan gambaran model tentang pengelolaan keragaman budaya yang bisa menjadi inspirasi untuk pengelolaan keragaman budaya di wilayah yang berbeda.

PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Kota Palembang.
Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang . Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:
 Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan.
 Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
 Daerah pesisir timur laut.
Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara
Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.
Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.

B. Etnis Tionghoa Mulai Masuk ke Palembang.
Komunitas Cina Palembang yang secara historis telah melakukan hubungan dagang sejak awal abad Masehi tentunya juga mempunyai sejarah yang panjang tentang pemukimannya. Meskipun demikian, keterbatasan data tidak memungkinkan untuk merekonstruksi pola pemukimannya sejak awal kehadiran mereka di Palembang. Oleh karena itu, dalam tulisan sejarah pemukiman masyarakat Cina di Palembang dimulai sejak runtuhnya kerajaan Sriwijaya sampai masa kolonial. Dari data keramik dapat diperkirakan sekurang-kurang sejak abad ke –7 Masehi, sudah terjalin hubungan dagang anatara Cina dengan Palembang, meskipun sumber tertulis menyebutkan bahwa puncak hubungan perdagangan terjadi pada abad ke 10-16. Hubungan dagang ini diperkuat dengan kehadiran utusan-utusan dari Palembangsejak abad ke -7 sampai dengan abad ke-13 ke negeri Cina. Dari sumber berita Cina sendiri hanya dapat diketahui bahwa sejak abad ke –7, tidak hanya hubungan dagang saja yang terjalin di anatara kedua wilayah ini, melainkan juga hubungan agama. Hal ini terbukti dari kehadiran I-t’sing, seorang pendeta Budha dari Cina yang belajar Sansekerta di Sriwijaya pada tahun 671 sebelum ke Nalanda, India.
Berdasarkan data sejarah dapat diketahui bahwa kelompok etnis Cina sudah mulai mengadakan kontak dagang sejak abad ke-7 Masehi, saat daerah ini masih dikuasai oleh Sriwijaya. Pada masa kemudian kedatangan orang-orang Cina yang menetap di Palembang justru melahirkan kepemimpinan kelompok etnis Cina di wilayah ini. Bahkan, setelah Islam memasuki daerah ini peran merekapun tidak surut, terbukti dengan munculnya imam kerajaan dari kelompok mereka. Dari sumber berita Cina (Ying Yai Sheng Lan) dapat diketahui bahwa etnis Cina yang ada di Palembang berasal dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou. Hanya saja dari sumber tersebut tidak disebutkan etnisnya. Pemukiman masyarakat Cina terdapat di wilayah 7 Ulu yang secara administratif termasuk wilayah Kelurahan 7 Ulu, kecamatan Seberang Ulu I, Palembang.
Masyarakat Cina yang merupakan bagian dari penduduk Palembang tentunya pola pemukimannya tidak jauh berbeda. Awalnya kelompok etnis Cina, seperti halnya masyarakat asing lainnya yang bermukim di wilayah Palembang, atas kebijakan sultan Palembang ditempatkan di seberang Ulu. Pembagian tata letak pemukiman yang berdasarkan status sosial, pekerjaan dan etnis telah terjadi di Palembang sejak kratonnya masih di Kuta Gawang. Etnis Cina ditempatkan di luar kraton. Bahkan, seperti halnya penduduk lainnya mereka bermukim di atas rakit. Rumah-rumah rakit yang berada langsung di atas air tetap mempunyai pola linear hanya sari segi kuantitas jumlahnya berkurang, hal ini terjadi karena perkembangan jaman (perubahan pemerintahan). Mereka lambat laun membentuk pemukiman rumah panggung. Keadaan ini juga berlaku untuk kelompok etnis Cina, sehingga kemudian munculah pemukiman Cina di 7 Ulu dengan segala sarana dan prasarananya. Pemukiman etnis Cina ini ditandai dengan adanya rumah Kapitan Cina, kelenteng dan pemakaman di Bukit Mahameru. Langgam arsitektur di kawasan Pecinan tersebut dipengaruhi oleh arsitektur lokal (Palembang), Cina dan Belanda. Sampai akhir pemerintahan kolonial Belanda pola pemukiman mereka tidak berubah, baik yang bermukim di atas rumah panggung maupun di atas rakit, yaitu berpola linear.
Tidak berbeda dengan literatur yang dikemukakan oleh Budayawan Palembang Djohan Hanafiah dalam sebuah bukunya Perang Palembang Melawan VOC (1996) diceriterakan bahwa Sriwjaya merupakan kerajaan yang lebih menguasai wilayah perairan di Asia Tenggara. Lalu, berdasarkan catatan sebagaimana dituturkan almarhum Djohan Hanafiah waktu lalu, Raja Palembang yang bernama Ma-na-ha, Pau –In –Pang (Maharaja Palembang) mengirim dutanya menghadap Kaisar Tiongkok pada tahun 1374. Maharaja ini disebut sebagai Raja Palembang terakhir pada saat penguasaan Sriwijaya, sebelum Palembang dihancurkan oleh Majapahit pada 1377.

C. Pandangan terhadap Etnis Tionghoa.
Citra tentang etnis Tionghoa yang umum kita ketahui adalah merupakan kelompok sosial minoritas yang secara ekonomi selalu berkecukupan, akan tetapi menjalani gaya hidup yang eksklusif. Hartiningsih (2004) menyatakan bahwa berbagai sumber menyebut-kan bahwa kelompok etnis Tionghoa yang jumlahnya kurang dari empat persen itu menguasai lebih dari 70 persen ekonomi Indonesia. Citra itulah yang menyebabkan mereka menjadi sasaran utama pada saat kerusuhan Mei 1998 meletus, termasuk perkosaan masa. Selain itu, citra kelompok etnis ini juga tak lepas dari buruknya citra pengusaha Tionghoa yang terlibat berbagai kasus tindak korupsi yang kemudian dibebaskan oleh hukum atau lari ke luar negeri.
Menurut Hartiningsih (2004) tidak banyak orang yang memahami bahwa dari jumlah populasi etnis Tionghoa itu, menurut berbagai acuan, paling banyak lima persen yang dapat diklasifikasikan sebagai kelompok ekonomi kuat. Sisanya adalah kelompok berpeng-hasilan menengah, menengah bawah dan miskin. Berikut ini adalah kutipan dari tulisan Hartiningsih (2004) mengenai pengalaman keseharian perempuan Tionghoa miskin yang tinggal di Tegal Alur, suatu kampung di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat, mengenai dilema citra identitas yang dihadapi Tionghoa miskin:
“Karena pandangan bahwa orang Tionghoa harus kaya, kita sering tidak dianggap Tionghoa oleh orang Tionghoa,” ujar San Nio. Sementara di antara komunitas miskin di wilayah itu, mereka juga tidak sepenuhnya diterima. “Kita nggak pernah dapat beras miskin” ujar Ong Ni. “Cuma sekali, dikasih sembako sama organisasi Buddha, langsung ke kita,” sambung Sang Nio.Identitas itulah yang membuat mereka dipandang sebagai “yang lain” baik oleh sesama etnis Tionghoa maupun oleh sesama kelompok miskin kota di luar etnis Tionghoa. Inilah yang membuat mereka mengalami diskriminasi berganda-ganda, dan (khususnya perempuan dan anak perempuan) berada di lapisan terbawah dalam struktur penindasan sistematis” .
Ada hal menarik yang kerap terjadi antara kaum pribumi dengan etnis tionghoa yang cenderung membenci etnis tionghoa, demikian pula sebaliknya. Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, ada beberapa hal yang mungkin menjadi pemicu rasa benci kaum pribumi terhadap etnis tionghoa .
1. Faktor Ekonomi
Kenapa saya bisa menyimpulkan faktor ekonomi sebagai salah satu penyebabnya? Karena di dunia ini banyak sekali pertikaian yang terjadi antara orang berduit dengan orang susah. Saya merasa kasus kaum pribumi dengan etnis tionghoa ini seperti kasus sampit. Mungkin tidak seheboh di sampit, tapi ada kemiripan. Etnis tionghoa cenderung sukses di Indonesia. Nasib mereka bisa dikatakan lebih baik dibanding kaum pribumi, meskipun ada saja dari etnis tionghoa yang juga melarat. Kesuksesan etnis tionghoa mungkin menyebabkan rasa iri pada hati kaum pribumi. Maka bencilah kaum pribumi terhadap mereka.
Secara alami, etnis tionghoa pun pasti akan bersikap defensif. Mereka tentu saja tidak menerima kesewenang-wenangan kaum pribumi. Meskipun mereka adalah pendatang dan merupakan minoritas, tetap saja mereka tidak ingin harga dirinya diinjak-injak. Maka, perlahan tapi pasti, mereka pun membeci kaum pribumi.

2. Etnis Tionghoa Itu Pelit.
Benarkah etnis tionghoa pelit? Mungkin saja iya, tapi bisa juga tidak. Dalam perdagangan orang tionghoa itu sangat teliti sekali, sehingga tawar menawar pun sulit untuk di lakukan dengan orang-orang cina. Sehingga, dari sini orang pribumi bahwa orang cina itu Pelit, bahkan dalam hubungan sehari-hari pun orang cina sangat ekonomis.
Berbeda dengan orang pribumi, kaum pribumi cenderung hidup di bawah tekanan rasa gengsi. Sebisa mungkin, mereka ingin tampil lebih “wah” dibanding rekannya. Kaum pribumi cenderung memiliki sifat konsumtif. Tidak punya uang, tapi selalu ingin membeli barang. Alternatifnya ya utang. Kalau etnis tionghoa, mereka cenderung lebih memilih untuk mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit. Sebisa mungkin mereka tidak terperangkap dalam buaian utang.
3. Faktor Agama.
Kebanyakan orang tionghoa beragama Hindu, sebagai bangsa yang beragama mayoritas orang Islam. Mungkin dalam menjalin hubungan sehari-hari kita untuk tidak berhubungan dengan nya, padahal anggapan itu salah, tapi masih saja kita Anti untuk berteman dengan orang cina.
Sebagai orang yang memiliki ilmi pengetahuan sebaiknya kita tidak untuk memilih dan memilah untuk berhubungan dengan agama lain selagi hubungan tersebut tidak merugikan satu sama lain.
Dari beberapa anggapan orang terhadap etnis tionghoa bahwa, sebagai orang palembang sebenarnya sudah memiliki hubungan baik sejak zaman dahulu kala. Jadi, Palembang tidaklah merupakan suatu yang asing bagi para penguasa Tiongkok pada dahulu kala, karena memang mereka juga telah memiliki hubungan baik dengan raja-raja di wilayah kekuaaan Sriwijaya. Dalam beberapa literature yang pernah diungkapkan Djohan pada bukunya, sebutan Palembang muncul pada abad 13 setelah berakhirnya masa kejayaan Sriwijaya abad 7-abad 12. Palembang semula berasal dari ejaan para saudagar Tiongkok yang menyebutkan Fa Lin Fong , seperti dituliskan dalam tulisan Tiongkok Chu Fa Shi karya Chau Ju Kau tahun 1225.
Makin jelas pula bahwa hubungan orang-orang Palembang dengan Tiongok merupakan sebuah hubungan yang demikian erat setelah penulis Tiongkok lainnya, Ma Huan, dalam catatan perjalannya Ying Ysi Shueng Lan (1416) menuliskan berbagai catatan mengenai Palembang yang diejanya dalam tulisan menyebut Pa Lin Pang.

D. Konflik Etnis Tionghoa yang terjadi di Palembang.
1. Masalah DPK (Dana Pihak Ketiga) dan Kredit BNI.
Potensi penyaluran kredit dan penghimpunan dana dari etnis Tionghoa sangat tinggi, sehingga wajar mayoritas perbankan membidik segmen ini. Bahkan bagi BNI, pangsa pasar ini bukan hanya mengenjot DPK (dana pihak ketiga), tapi juga berkontribusi besar terhadap pertumbuhan kreditnya.
”Sebetulnya kami tak membeda-bedakan nasabah. Seluruh segmen yang mau menjadi nasabah maupun debitur BNI sama dan kami gabung. Tapi tidak bisa kami pungkiri etnis Tionghoa juga kontribusinya tinggi. Banyak nasabah prioritas kami yang berasal dari etnis ini,” ujar Pemimpin Kanwil BNI Palembang Jefry AM Dendeng, di sela acara Malam Spektakuler Gala Dinner di Selebriti Cafe, akhir pekan lalu.
Kata Jefry, mayoritas etnis Tionghoa menjadi nasabah Emerald BNI. Untuk menjadi nasabah priority ini, harus mempunyai saldo minimal Rp1 miliar. ”Sesuai dengan benefit yang kami berikan, diantaranya travelling nasabah yang kami urus, mulai dari tiket, hotel, hingga emergency (sakit),” ungkapnya.
Dia mengatakan, walaupun etnis Tionghoa menguasai Emerald, namun penyokong dana mayoritas BNI tetap masyarakat pribumi. Sedangkan kredit, etnis Tionghoa hanya mengambil kredit investasi pertanian, industri, perdagangan, modal kerja sektor perdagangan, ekspedisi, dan angkutan. ”Tapi data pastinya belum bisa kami umumkan. Kami sedang right issue, mungkin setelah itulah atau akhir tahun baru bisa diketahui,” tuturnya.
Nah, sebagai bentuk apresiasi kepada nasabah dan debitur etnis Tionghoa, BNI menggelar Malam Spektakuler Gala Dinner di Selebriti Cafe, akhir pekan lalu. ”Sebetulnya salah satu nasabah kami yang menyelenggarakan acara ini, BNI hanya berpartisipasi,” tukasnya. Sekitar 500 tamu dari nasabah dan undangan hadir pada malam Gala Diner tersebut. Jefry berharap, acara ini mampu menumbuhkan keloyalan nasabah untuk terus menabung di BNI. Begitu juga bagi para debitur.
”Terselenggaranya acara ini juga karena disupport BNI. Kami laksanakan di dua kota. Pertama di Palembang, dan Januari 2011 nanti di Jakarta. Acara ini sebagai ajang silahturahmi antara etnis Tionghoa yang ada di Palembang. Sekaligus juga malam amal untuk membantu para korban letusan Gunung Merapi,” ungkap Panitia Malam Spektakuler Gala Dinner Farida Salim .

2. Gagalnya Etnis Tionghoa Calon Walikota.
Gagalnya calon dari etnis Tionghoa tampil pada pemilihan Walikota Palembang tahun 2008-2013 terjadi akibat ganjalan faktor etnisitas. Argumentasi tersebut terungkap pada diskusi yang diselenggarakan Sekolah Demokrasi Banyuasin, akhir pekan lalu di Palembang.
Menurut Abdullah Idi, guru besar IAIN Raden Fatah Palembang yang berbicara dalam diskusi tersebut, etnis Tionghoa masih mengalami persoalan psikologis ketika akan terlibat dalam proses pemilihan umum kepala daerah atau pemilukada yang tengah berlangsung. ''Faktor etnisitas dan agama menjadi faktor yang dominan dan kuat yang menjadi ganjalan bagi etnis tersebut untuk ikut pencalonan.''
Abdullah Idi yang didampingi Tarech Rasyid, Koordinator Program Sekolah Demokrasi Banyuasin mengatakan, menyangkut etnis Tionghoa di Indonesia, persoalan yang selesai baru taraf normatif bukan psikologis. Di samping itu, etnis Tionghoa cenderung memperhitungkan untung rugi ketika terjun dalam politik. ''Jadi pertimbangannya sangat kompleks,'' ujarnya.
Sebelumnya, saat pendaftaran calon walikota dan calon wakil walikota Palembang tahun 2008-2013 dibuka sejumlah partai, sempat muncul seorang calon dari etnis Tionghoa, Toni Huang. Namun nama Toni Huang kemudian terlupakan oleh partai politik yang membuka penjaringan calon.
Toni Huang sempat mengambil formulir pendaftaran pencalonannya sebagai bakal calon (balon) Wakil Walikota Palembang di sekretariat kantor DPC Partai Demokrat (PD) Kota Palembang. Toni Huang yang juga Wakil Ketua DPD Partai Demokrat Sumsel datang dengan didampingi para ketua dan tokoh pemuda organisasi sayap partai bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, seperti Komite Nasional Pemuda Demokrat (KNPD) Sumsel, Generasi Muda Partai Demokrat (GMPD) Sumsel, dan Pemuda Partai Demokrat Sumsel. Namun, setelah pencalonan resmi ditutup, nama Toni Huang tidak muncul.
Menurut Koordinator Program Sekolah Demokrasi Banyuasin Tarech Rasyid, pencalonan Toni Huang, walau dia berasal dari etnis Tionghoa namun memilik hak politik yang sama dengan etnis lain. ''Tidak ada lagi praktik diskriminasi seperti dulu dimana etnis Tionghoa lebih difokuskan untuk urusan ekonomi,'' katanya.
Menurut Tarech Rasyid, hak-hak politik etnis Tionghoa sebenarnya telah dimulai dan diakui sejak dulu di mana pernah berdiri parpol etnis Tionghoa. ''Itu menunjukan sudah ada kesadaran politik.''
Tarech juga menggambarkan betapa potensial dan signifikan jumlah pemilih di kota Palembang yang berasal dari etnis Tionghoa. ''Di Palembang jumlahnya diperkirakan ada 300 ribu orang. Jadi, cukup signifikan untuk menjadi lumbung suara dalam pemilihan Walikota yang akan berlangsung Juni 2008 nanti.''
Toni Huang sendiri mengakui keputusannya untuk menjadi calon Wakil Walikota Palembang, selain sebagai kader Partai Demokrat dan warga Kota Palembang, juga karena terpanggil untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Walikota Palembang. ''Saya mendapat banyak dorongan dari masyarakat, keluarga, sahabat, dan teman-teman, terutama kalangan muda etnis Tionghoa'' .


E. Upaya Untuk Mengatasi Konflik yang terjadi terhadap Etnis dan Pribumi.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, eksitensi konflik dapat positif dan bisa negatif. Konflik dalam pandangan tradisional beranggapan bahwa konflik merupakan hal yang merugikan organisasi. Pandangan perilaku beranggapan bahwa konflik dapat bermanfaat atau dapat juga merugikan organisasi, tetapi umumnya konflik merugikan organisasi itu sendiri.
Konflik dapat bersifat fungsional atau berguna bagi organisasi. Selain itu konflik dapat juga tidak fungsional, artinya tidak menguntungkan bagi organisasi. Dengan adanya pandangan-pandangan ini, para pakar berusaha melakukan penelitian untuk mengetahui penyebab-penyebab konflik dan berusaha menyusun strategi untuk pemecahannya. Pemecahannya dapat dilakukan dengan menejemen konflik, atau dengan cara antisipasi.
Menurut teori kepemimpinan, yang dominan meletakkan penyebab kepemimpinan yang efektif tergantung pada pemimpin itu sendiri. Pemimpin dikatakan efektif, jika mempunyai karakteristik, berwibawa terhadap bawahan atau setidaknya tidak terlalu lunak. Kepemimpinan di antara kelompok akan tergantung kepada seleksi dan penempatan pemimpin dalam situasi yang berhubungan dengan bakat yang dipunyai oleh pemimpin. Pandangan interaksi, beranggapan bahwa konflik tidak dapat dihindarkan, bahkan diperlukan karena konflik dapat membuat organisasi berjalan lebih efektif.
Ada lima gaya menghadapi konflik dapat digunakan oleh pemimpin atau oleh manajer dalam menangani atau menyelesaikan konflik, yaitu gaya avoiding (menghindar), gaya accomodating (menyesuaikan), gaya competing (bersaing) atau forcing (kekerasan), gaya bersaing, gaya collaborating (kolaborasi), dan gaya compromising (kompromi) .

PENUTUP

Semenjak dulu kala, Kota Palembang, Sumatera Selatan telah dikenal sebagai pusat perniagaan. Laut dan sungai merupakan lalu lintas perdagangan yang digunakan para saudagar sebagai jalur angkutan barang-barang niaga kebutuhan masyarakat di sini. Kebiasaan perdagangan dengan menggunakan lalulintas laut dan sungai telah mewarisi para saudagar kawasan ini yang berlangsung sejak zaman Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Kota Palembang.
Dalam sejarah di kota Palembang bahwa orang-orang tionghoa sudah lama menetap di kota Palembang dalam urusan perdagangan, sehingga orang-orang tionghoa sudah tidak asing lagi di palembang ini. Namun kita sebagai orang palembang masih ada pikiran-pikiran negative tentang orang-orang tionghoa baik dalam segi Ekonomi, Agama, bahkan hubungan sehari-hari.
Adapun beberapa konflik yang terjadi di kota palembang yang menyangkut dengan orang cina (tionghoa). Seperti masalah DPK (Dana Pihak Ketiga) dan Kredit BNI. Serta gagalnya etnis tionghoa calon walikota. Dari kejadian seperti itu sebenarnya dapat diatasi dengan beberapa metode yaitu avoiding (menghindar), accomodating (menyesuaikan), competing (bersaing) atau forcing (kekerasan), collaborating (kolaborasi), dan compromising (kompromi).

DAFTAR PUSTAKA

Alqadrie, S.A. 2003. “Faktor-faktor Penyebab Konflik Etnis, Identitas dan Kesadaran Etnis, serta Indikasi ke Arah Proses Disintegrasi di Kalimantan Barat,” dalam Murni Jamal (Ed) Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Leiden-Jakarta. INIS dan PBB.
Hartiningsih, M. 2004. “Perempuan Tionghoa Miskin Pertarungan Identitas dalam Ketidakberdayaan,” dalam Kompas, 6 September 2004.
http://www.republika.com
http://etnis-cina-di-palembang.com/
http://palembang.tribunnews.com/view/29344/ktp_untukk_etnis_tionghoa
http://jabrah.blog.uns.ac.id/2010/05/10/pribumi-vs-etnis-tionghoa/,
http://palembang.tribunnews.com/view/29344/ktp_untukk_etnis_tionghoa
http://kotapalembang.blogspot.com/2006/06/sejarah-perkembangan-pemukiman.html.

1 komentar:

  1. wahhh.,.,.!!
    alhmdillah ne dapat sjarah palembang dan org2 tionghoa,.,!!
    makasih ea.

    BalasHapus